Pakar Hukum Tata Negara Bicara soal Pelaksanaan Pilkada

WAJAHSULTRA.COM, Jakarta — Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Pancasila Muhammad Rullyandi menilai, kritikan mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Kemendagri) Djohermansyah Djohan subjektif. Prof Djo -panggilan karib Djohermansyah- sebelumnya menilai, pelaksanaan pilkada serentak 2020 di masa pandemi menabrak tiga asas pemilu.
“Pendapat Prof Djohermansyah saya pikir sah-sah saja, tetapi bersifat subjektif. Perlu dipahami, keputusan bersama pemerintah, DPR dan KPU menyelenggarakan pilkada 9 Desember, secara menyeluruh adalah langkah yang konstitusional dan proporsional. Tentunya dengan mempertimbangkan keamanan protokol kesehatan Covid-19,” ujar Rullyandi di Jakarta, Selasa (30/6).
Rullyandi membenarkan, Prof Djo memang pernah menjabat dirjen otonomi daerah. Artinya cukup memahami aturan pelaksanaan pilkada. Hanya saja, kondisi saat Prof Djo menjabat dengan kondisi saat ini berbeda. “Sekarang ini situasinya tidak normal. Belum diketahui kapan pandemi akan berakhir. Makanya, pemerintah, DPR dan KPU memutuskan menyelamatkan keberlangsungan demokrasi dengan komitmen yang tinggi,” katanya. Rullyandi juga mengatakan, keputusan melanjutkan tahapan pilkada serentak sudah sesuai dengan garis besar rambu-rambu konstitusional.
Di mana penyelenggara negara diberi amanah, termasuk memastikan proses pengisian jabatan kepala daerah dalam rezim demokrasi lokal, berjalan dengan baik. “Saya kira, pilkada di saat pandemi ini ukuran keseriusan pemerintah dan kesiapan penyelenggara pemilu menegakkan prinsip nilai-nilai demokrasi, meski situasi saat ini belum pernah terjadi keadaan pandemi sejak Indonesia merdeka, tahun 1945 lalu,” katanya.
Rullyandi mengatakan, pelaksanaan pilkada di tengah ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir, memberi kepastian kepala daerah memiliki kewenangan penuh. Hal tersebut dinilai sangat berguna dalam penanggulangan Covid-19 di daerah-daerah.
Sebelumnya, Djohermansyah menyebut, menggelar pilkada serentak di saat pandemi, menabrak tiga asas pelaksanaan pilkada. Pertama, pilkada tidak boleh dilaksanakan jika sedang ada bencana. Kedua, pilkada sejatinya menjadi pesta demokrasi yang aman dan tenang. Ketiga, ada mekanisme pengangkatan pejabat sementara untuk menggantikan kepala daerah yang masa jabatannya telah habis. (jpnn)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img
spot_img