JAKARTA,WAJAHSULTRA.COM–Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) H. Ali Mazi, SH., menyempatkan diri manyambangi para penari yang terpilih menari di Istana Negara. Tari Lumense adalah tarian yang berasal dari Tokotu’a, Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Tari Lumense akan ditampilkan dalam Upacara Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-77, 17 Agustus 2022, pada Upacara Bendera Merah Putih di Istana Negara, Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut, para penari disambut oleh Pj. Sekretaris Daerah Prov. Sultra, Asrun Lio; Anggota DPR-RI, Hugua; Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Prov. Sultra, Basiran Lazaidi; Kepala Dinas Pariwasata Prov. Sultra, Belli Harli Tombili; dan Ketua KADIN Prov. Sultra, Anton Timbang.
Gubernur Ali Mazi di tengah kunjungan kerja di ibu kota negara, menyempatkan waktu untuk mengunjungi para penari Lumense. Sebanyak 100 orang penari Lumense asal Sulawesi Tenggara yang akan tampil di Istana Presiden nanti dalam perayaan HUT RI ke-77.
Secara langsung, Gubernur Ali Mazi memberikan motifasi kepada anak-anak penari yang akan membawa nama daerah agar belajar menghilangkan kegugupan saat tampil membawakan tarian Tokotua, Kabupaten Bombana. “Harus fokus melaksanakan kegiatan ini sebaik-baiknya, dan dihadapan seluruh masyarakat Indonesia. Tentu tidak mudah melaksanakan tarian ini di hadapan rakyat Indonesia di atas banyaknya tarian dari seluruh Indonesia. Anggap ini sedang menari di Sulawesi Tenggara, jangan jadikan beban.”
Pada kesempatan tersebut, Gubernur Ali Mazi menyampaikan rasa syukur dan kebanggan akan peran Sulawesi Tenggara yang terpilih untuk mempersembahkan tarian tradisionalnya di antara banyaknya tarian di Indonesia. “Sebagai Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara, saya patut berbangga, dari sekian banyak daerah dan tarian yang ada, kita yang terpilih. Ini tidak mudah. Alhamdulillah, Tari Lumense terpilih.”
Selanjutnya, Gubernur Ali Mazi menyampaikan harapan dan meminta doa agar pada Upacara HUT RI ke-77, Presiden RI, Joko Widodo menjatuhkan pilihan mengenakan baju adat dari Sulawesi Tenggara.
“Mudah-mudahan. Kita semua berharap dan berdoa agar presiden menggunakan baju adat dari Sulawesi Tenggara. Ini tergantung doa,” ujar Gubernur Ali Mazi.
Pada kesempatan itu pula, Gubernur Ali Mazi menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu berbagai kesiapan Sulawesi Tenggara agar Tarian Lumense ke istana. “Kepada Pj. Sekda Prov. Sultra, Kadis Pariwisata Prov. Sultra, Kadis Pariwisata Kabupten Bombana, BUMD Prov. Sultra. Terkhusus pada para pelatih, dan semua yang membantu, saya ucapkan banyak terima kasih, dan diridhoi Allah Subhana Wata’ala.”
Empat Tarian
Tari Lumense terpilih untuk ditampillkan bersama tiga tarian adat dari provinsi lainnya. Empat provinsi dengan tarian adat yang akan ditampilkan dalam upacara HUT RI ke-77 di Istana Negara yaitu Tari Lumense dari Kabaena, Reog Ponorogo dari Jawa Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Barat. Tari Lumense dan Reog Ponorogo akan ditampilkan saat upacara penaikan Bendera Merah Putih di Istana Negera atau pagi hari. Sementara dua tarian dari Papua dan NTB ditampilkan pada penurunan Bendera Merah Putih.
Terpilihnya Tari Lumense setelah tarian ini sebelumnya masuk dalam nominasi Anugerah Pesona Indonesia (API) Award 2022. Selain itu, tarian ini juga masuk 100 besar hasil kurasi Festival Tangkeno di Kharisma Event Nusantara (KEN). Terpilihnya Tari Lumense karena tarian ini memiliki makna tarian penolak bala atau penolakan peristiwa buruk seperti wabah penyakit.
Tarian Lumense ini akan ditampilkan oleh 120 orang terdiri 100 penari wanita dan 20 pria penabuh gendang. Para penari ini terdiri dalam mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari, siswa Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan dan Madrasah Tsanawiyah. Pesertanya untuk jenjang mahasiswa hingga pelajar dari Kota Kendari dan Kabaena, Kabupaten Bombana.
Ke-120 penari Tari Lumense sudah mengikuti latihan selama sebulan, dan kini para peserta akan berangkat dan tiba di Jakarta pada 14 Agustus 2022.
Ensiklopedia Tari dan Musik di Sultra
Di masa lalu Tari Lumense dilakukan dalam ritual Pe’Olia, yaitu ritual penyembahan kepada Kowonuano (penguasa/pemilik negeri) dengan menyajikan aneka jenis makanan. Ritual ini dimaksudakan agar Kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana. Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang.
Corak produksi masyarakat Kabaena adalah bercocok tanam atau bertani, masyarakat masih melakukan pola tradisional yaitu membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Sementara parang yang dibawa oleh para pria menggambarkan profesi sebagai petani. Simbol pohon pisang dalam tarian ini bermakna bencana yang bisa dicegah. Oleh karena itu klimaks dari tarian ini adalah menebang pohon pisang. Artinya, setelah pohon pisang tumbang bencana bisa dicegah. Kekinian Tari Lumense sudah tidak lagi menjadi ritual pengusiran roh. Akan tetapi, Tari Lumense masih dianggap memiliki nilai spiritual. Masyarakat setempat menganggap Tari Lumense adalah tari “penyembuhan”.
Tari Lumense memiliki arti yang diambil dari bahasa daerah setempat yakni kata Lume yang berarti terbang dan Mense yang berarti tinggi, jadi secara menyeluruh, nama tarian ini berarti terbang tinggi. Lumense berarti terbang mengamuk. Mereka menamakan Lumense karena gerakan penarinya laksana seorang yang sedang mengamuk dengan pedang ditangannya. (Ensiklopedia Tari dan Musik di Sultra, 1977/1978).
Suku Moronene merupakan penduduk asli dari wilayah ini, dan tertua hingga saat ini. Nenek moyang suku ini adalah bangsa Melayu Tua yang datang dari Hindia Belakang pada zaman pra sejarah. Secara geografis, Pulau Kabaena merupakan pulau terbesar setelah Pulau Buton dan Pulau Muna di Sulawesi Tenggara.
Tari Lumense ini diiringi dengaan instrument musik gendang, gong besar (Mbololo) dan gong kecil (Ndengu-Ndengu). Ketiga instrument musik ini dimainkan serentak oleh tiga orang pemain musik. Biasanya Tari Lumense ini dilakukan diarena atau panggung terbuka, sehingga perlengkapan pertunjukkan tari tersebut hanya terdiri dari parang dan batang pisang. Pakaian penarinya terdiri dari pakaian adat. Penari wanita memakai baju panjang berjumbai seperti ekor burung, kain sarung, kepala diikat dengan hiasan berumbai dan ikat pinggang. Musik pengiring tari ini berasal dari alat musik gendang dan gong besar yang disebut Tawa-Tawa dan gong kecil (Ndengu-ndengu). Pengiring musik berjumlah tiga orang penabuh alat musik tersebut sementara dalam memainkan tarian ini dibutuhkan beberapa anakkan pohon pisang sebagai properti pendukung. (ilham/hen)