KENDARI, WAJAHSULTRA.COM — Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Farhana Mallawangan menolak keras wacana pemerintah untuk mengenakan PPN terhadap Pendidikan dan Sembako.
“Kami meminta pemerintah berpikir ulang mengenai rencana untuk mengenakan PPN terhadap sembako dan sekolah,” jelasnya. Senin, (14/06).
Sebagaimana Pemerintah berencana bakal mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada sejumlah barang atau jasa tertentu. Berdasarkan Rancanangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan tata cara perpajakan.
Selain sembako yang dikenakan PPN, jasa pendidikan atau sekolah juga diwacanakan ditarik pajak. Atas pengenaan PPN terhadap Pendidikan dan Sembako,Politikus Golkar ini menguraikan bahwa wacana itu terlihat dalam draf RUU perubahan kelima atas Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). “Saya sangat menyayangkan rencana kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait rencana kebijakan tersebut,” tegasnya.
Dirinya mengaku sangat mengerti situasi keuangan negara yang sedang berat, apalagi dalam situasi pandemi yang menyebabkan target pajak tidak tercapai, sehingga penerimaan negara defisit.
Ketua DPD II Golkar Kolaka ini menegaskan bahwa menarik pajak dari kebutuhan pokok masyarakat bukanlah sebuah solusi, apabila hal itu dilakukan hanya akan menambah beban masyarakat. “Tarik pajak dari barang-barang kebutuhan pokok rakyat dan kegiatan-kegiatan riil masyarakat, seperti beras, gula, garam, ikan, daging, sayur mayur dan juga pelayanan kesehatan dan pendidikan itu justru semakin membebani rakyat,” bebernya.
“Sehingga, upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak berbanding lurus dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat,” sambungnya.
Untuk itu, Farhana menyarankan kepada pemerintah sebaiknya menerapkan objek pajak baru terhadap barang-barang yang bukan menjadi kebutuhan pokok masyarakat. “Seharusnya pemerintah menarik pajak terhadap aktivitas pertambangan, perkebunan hingga korporasi. Ini yang tepat,” urainya.
Kebijakan mengenakan PPN terhadap pendidikan dan sembako menurutnya bisa merusak citra pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang awalnya berpihak ke rakyat kecil. “Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan harus menarik dan merevisi draf RUU KUP yang isinya tak populer itu. Apalagi sektor pendidikan dan sembako ini merupakan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia,” tegasnya.
Entah mahal atau murah, pendidikan tetaplah pendidikan yang sangat diperlukan dalam pembangunan kualitas manusia. Demikian halnya dengan penambahan beras yang akan dijadikan sebagai objek PPN dan dikenakan PPN, harus dilihat korelasi kedepannya. “Bahwa kualitas pangan akan mempengaruhi kualitas kesehatan dan akhirnya berpengaruh pada kualitas kehidupan masyarakat,” ungkap Farhana.
Alasan yang sangat tidak rasional bahwa kebijakan ini akan diterapkan setelah pandemi covid-19 selesai, karena sampai saat ini tidak ada ahli yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir.
Justru energi bangsa sebaiknya berkonsentrasi digunakan untuk menangani dan mengatasi pandemi covid-19 bukan justru membuat polemik membahas objek PPN baru dan kenaikan tarif PPN. “Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan terbaik di dunia harus bisa menunjukkan kreativitas dalam membuat ide dan gagasan sesuai dengan kelasnya. Saya meminta menteri keuangan menggunakan ruang kreativitas lainnya dalam mengambil kebijakan menaikkan penerimaan pajak,” paparnya.
Karena, dalam menghadapi pandemi covid-19 saat ini semua negara menghadapi permasalahan yang hampir sama di bidang fiskal, tapi kenapa hanya Indonesia yang mengambil langkah kebijakan menaikkan tarif pajak dan menambah objek pajak baru. “Kebijakan ini kontradiktif dan justru merusak proses dan upaya pemulihan ekonomi yang sedang di upayakan,” tutup Farhana. (p2/c/hen)