KENDARI,WAJAHSULTRA.COM–Ratusan Sopir Truk yang tergabung dalam Forum Sopir Truk Sulawesi Tenggara ( FOR OSS) yang berasal dari Paosana Konawe Selatan, Nambo Kendari, Anduonohu Kendari, Wawatu Konawe Selatan, Ranomeeto, Unaaha Konawe, Kota Lama Kendari, dan dari Boro-Boro Konawe Selatan gelar aksi Unjuk Rasa menolak kebijakan operasi penertiban angkutan Mobil jenis Dump Truk yang Over Dimension Over Loading (ODOL) di Gedung DPRD Provinsi Sultra, Selasa (22/2).
Operasi penertiban ini dilaksanakan oleh Tim Terpadu Provinsi Sultra yang terdiri dari Balai Pengelolaan Transportasi Darat (BPTD) Wilayah XVIII Provinsi Sultra, Ditlantas Polda Sultra, Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Sulawesi Tenggara, dan Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Sultra dan Kabupaten/Kota.
Dalam aksi kedua ini, DPRD Sultra guna mencari solusi menggelar Rapat Dengar pendapat (RDP) yang mempertemukan pihak sopir truk dengan instansi terkait.
Haerun Amin, salah satu perwakilan sopir truk yang diwawancarai oleh awak media menyampaikan bahwa aksi ini berdasarkan adanya kebijakan pemerintah, dalam hal ini penertiban mobil-mobil yang bermuatan over dimensi dan Over Loading (ODOL).
“Kami sopir-sopir ini, bukannya kami menolak kebijakan itu, tapi karena kebijakan itu kemudian tidak dimulai dengan sosialisasi yang menyeluruh, dan tadi juga sudah terbaca beberapa narasumber dalam RDP ini mulai dari Kepolisian, perhubungan, dan Balai.Mereka juga mengakui bahwa ini belum ada sosialisasi yang menyeluruh, sehingga akibatnya kebijakan itu menimbulkan konsekuensi terputusnya aktivitas masyarakat yang bekerja sebagai sopir truk angkutan. Masyarakat yang selama ini berkontribusi menyediakan mobil sebagai penyuplai kebutuhan bangunan di Kota Kendari, kemudian harus berhenti kerja,”ungkapnya.
Lanjutnya, Kemudian, kalau kita melihat dari sisi pointnya, ini kan yang disasar ini adalah masyarakat kecil, yang disasar ini seolah-olah hanya masyarakat kecil, kalau kita mau jujur, mobil-mobil kapasitas besar itu, seperti mobil-mobil perusahaan Bosowa, terus perusahaan-perusahaan SPBU, itu semua kan mobil-mobil dengan kapasitas lebih dari 8 ton, kenapa itu tidak dipersoalkan, kenapa yang harus disasar hanya mobil masyarakat kecil.
“Kalau kita mau jujur, mobil Pemerintah Kota Kendari yang mengangkut sampah itu juga baknya lebih dari 1 meter, tetapi kan tidak disentuh, jadi kebijakan-kebijakan ini kami lihat cenderung hanya menyasar masyarakat kecil yang tidak memiliki daya untuk melakukan komunikasi-komunikasi kepada pihak kepentingan,”bebernya panjang lebar.
Lebih lanjut Haerun, menyampaikan dan kami juga sesungguhnya, bersyukur kepada Presiden Joko Widodo, yang sudah menjadikan daerah ini sebagai sentra perindustrian, dimana-mana perusahaan perkebunan, industri, artinya kalau kebijakan hanya semata-mata melakukan penegakkan hukum, otomatis masyarakat jadi terlibat, kalau masyarakat juga terlibat dalam hal ini menyediakan jasa, otomatis perusahaan akan menyediakan jasa angkutan sendiri, artinya apa harapan presiden Jokowi untuk kemudian masyarakat terlibat aktif dalam hal kemudian menyongsong pembangunan di Industri yang besar ini, itu terputus dengan kebijakan ini.
“Dan kemudian kalau kita mau jujur salah satu terobosan pemerintah itu dalam UU Omnibus law itu, itu kan semua sudah disederhanakan itu, peraturan tentang jalan, peraturan tentang lalu lintas, undang-undang Jalan, Undang-undang nomor 22 tentang angkutan lalu lintas, itu semua sudah disederhanakan, hanya untuk mendukung investasi,”terangnya lagi.
Kata Haerun, di Sultra, dia unik, yang disasar itu hanya masyarakat-masyarakat kecil, itupun tidak ada pendekatan-pendekatan sosialisasi, kita tidak ada pilihan, pilihannya sekarang ini bertahan di Kantor DPRD Provinsi sampai ada titik solusi yang bisa membangkitkan semangat atau kemudian kita relakan mobil-mobil kita ditarik oleh leasing, itu pointnya.
“Sejauh ini tuntutan kami, kalau misalnya pemerintah itu konsisten menegakkan aturan, jangan hanya kita masyarakat kecil, tapi perusahaan-perusahaan besar yang juga menyediakan truk-truk besar itu yang juga lalu lalang di Kota Kendari itu, itu harus ditertibkan juga, misalnya Mobil-mobil SPBU-SPBU dari Depot Pertamina, Mobil dari PT Bosowa, Mobil Perusahaan Gas di Todonggeu sana, itu bak-baknya lebih dari 1 meter juga, dan muatannya bukan hanya 8 ton, itu juga harus ditertibkan,”ucapnya lagi.
Selain itu Haerun juga meminta agar ada penetapan harga material dan biaya rotase di Provinsi Sultra.
“Kedua, kalaupun, kemudian ditertibkan, juga kemudian harus jelas, pemerintah dalam menetapkan harga material, menyiapkan regulasi tentang biaya rotase sopir atau angkutan,”harapnya.
Kata Haerun, selama ini kan, ini barang dikuasai oleh tengkulak-tengkulak, suka-sukanya mereka menentukan sewa mobil, tidak ada keputusan dari Pemerintah Provinsi, bahkan di tahun 2020, Pemerintah Provinsi hanya menetapkan harga material, peraturan itu ada di peraturan gubernur, saya lupa nomornya berapa, dia telah menetapkan berapa sewa rotase mobil, sehingga masyarakat itu pilihannya, kalau tidak dikasih overload, tidak mungkin dapat cicilan mobil, kayak gitu, tidak mungkin dapat rotase mobil.
“Kalau pemerintah mau menetapkan atau mengintervensi semua kontraktor-kontraktor misalnya di Ladongi ini, dia tentukan sewa material, sewa mobil yang memuat material dari Unaaha ke Toronipa, atau dari Molawe ke Toronipa, atau harga sewa mobil yang akan muat pasir dari Nambo ke Kendari, kita kan sudah ada rujukan, tapi masalahnya ini pemerintah kemudian tidak bisa menetapkan sewa rotase, tiba-tiba menegaskan penertiban itu, maka pada akhirnya tidak bisa bekerja,”ujarnya.
Lebih lanjut Haerun menjelaskan kita ambil misalnya muatan 8 ton, katakanlah muatan 8 ton itu dari Moramo ke Morosi, itukan sewa mobil hanya 63 ribu rupiah di kali perton, anggaplah dapatnya 550 ribu rupiah satu ret, 550 ribu itu, kalau dikurangi misalnya bahan bakar sekarang ini, setengah mati subsidi, kebanyakan industri, anggaplah satu kali lari bahan bakar 290 ribu rupiah, dipotong uang makan sopir 50 ribu rupiah, dipotong misalnya rotase anggaplah 80 ribu rupiah, sisa berapa itu? Dipotong misalnya PAD untuk orang-orang perhubungan pada 4 Pos sebanyak 20 ribu rupiah per pos, maka itu habis.
“Maka kalau kebijakan itu hanya semata-mata pendekatan regulasi, pilihannya itu masyarakat, apakah mobilnya ditarik oleh leasing, dan sopir yang selama ini kerja juga akan terputus, dan bukan hanya masyarakat yang rugi tapi daerah juga, karena yang mendukung pembangunan Sultra ini, sebagian besar adalah sopir-sopir, yang layani kontraktor-kontraktor itu mereka membangun semua itu adalah sopir truk, misalnya pembangunan jalan oleh PP semua adalah sopir-sopir truk lokal,”tuturnya.
Ia juga menambahkan bahwa Pembangunan bendungan Ladongi semua sopir-sopir lokal, jadi kalau sopir-sopir ini dibunuh, otomatis misalnya terhenti akibat kebijakan ini, karena tidak ada pendekatan komunikasi, saya pikir ini suatu musibah terbesar yang terjadi di provinsi Sultra.
“Kalau pertimbangan banyaknya jalan yang rusak akibat dari banyak mobil yang over Dimension dan Ovel Loading (ODOL), itu mobil-mobil atau sopir-sopir di Sultra itu, itu mereka memiliki mobil itu 6 roda, dan 6 roda itu, kalaupun dipaksa muatannya paling 12 ton, berarti beban yang ditimbulkan mobil masyarakat itu, hanya kapasitas 12 ton, sementara kalau kita mau bicara kapasitas muatan, ada mobil yang lebih besar itu, yang hari pulang balik melewati jalanan Kota Kendari, misalnya mobil SPBU yang muatannya ada yang sampai 15 kl atau 15 ton, mobil PT Bosowa, mobil PT Nindya Beton, itu kan mobil-mobil yang kapasitas 15 ton, jadi kalau misalnya pertimbangan konstruksi jalan, saya pikir itu tidak layak disematkan pada sopir truk 6 roda,”kilahnya.
Ia juga menuding ada diskriminasi dalam penindakan ODOL ini, kenapa saya katakan terlihat jelas karena kebijakan ini monoton menyasar mobil-mobil masyarakat kecil, bukan mobil-mobil perusahaan besar, kaya Bosowa misalnya.
“Persoalan jumlah ODOL dari truk yang lebih banyak, saya pikir itu soal relatif, artinya jumlah itu, masyarakat ini berusaha tergantung melihat potensi perkembangan daerah, dan perkembangan daerah ini memungkinkan masyarakat untuk mengambil alih, masyarakat memiliki kecakapan melihat potensi usaha, jadi peningkatan jumlah itu, bukan karena masyarakat, tapi karena daerahnya yang butuh pembangunan yang luar biasa,”tandasnya.
Sementara itu, ditempat yang sama, Kepala Balai Pengelolaan Transportasi Darat (BPTD) Wilayah XVIII Provinsi Sultra, Benny Nurdin Yusuf menanggapi dan membantah adanya tudingan adanya diskriminasi dalam penertiban angkutan Mobil jenis Dump Truk yang Over Dimension Over Loading (ODOL)
“Okelah, itu kan perasaan teman-teman, tapi saya tidak akan menafikan itu, bahwa apa yang kita lakukan kita tidak pandang bulu, semua yang tinggi-tinggi baknya, kita tahan dan periksa kemarin, bahkan ada truk mixer yang besar itu juga kita tahan,”ujarnya.
Lanjutnya, Jadi semua kita periksa, dan saya sudah berkomitmen dengan kesyahbandaran, ini nanti hulunya nanti di Pelabuhan akan kita tertibkan juga, jadi sama dengan ini, bahwa ini kayak snowball, seperti bola salju yang sudah begitu besar, kita baru memulai menertibkan itu mengunakan pakai kampak, pakai apa, dan pasti belum semua bisa.
“Tetapi ini tidak ada yang kita diskriminasi, kalau ada diskriminasi, anda-anda pun bisa melaporkan kepada saya, kalau ada perusahaan angkutan transportasi yang kendaraannya tinggi baknya 1 meter atau 2 meter setengah yang mengangkut barang curah ini, lapor sama saya. Saya akan turun periksa,”tegasnya.
Sambungnya, Jadi tidak ada diskriminasi, karena penegakan hukum (Gakkum) ini berlaku kepada semua, kalau teman-teman media yang ikut penertiban kemarin, melihat juga ada truk yang dua meter lebih kita tahan juga, kita periksa juga, ada juga truk mixer kita tahan juga, cuman itu yang saya katakan tadi, karena kita namanya Gakkum ini memeriksa satu titik, terus bapak berhenti disana karena kendaraan-kendaraan besar itu berhenti disana, terus saya mau geret -geret kesini, kan tidak bisa kan, dan itu yang terjadi, ketika kita Gakkum truk-truk ini tidak keluar, mereka baku telepon semua, jangan keluar ada Gakkum, berhenti semua.
“Makanya saya bilang, kalau ada perusahaan yang memiliki kendaraan yang melanggar dimensi, tolong sampaikan kepada kami, kami akan datangi,”imbuhnya.
Kata Benny, jadi kebijakan ini tujuan besarnya adalah pertama, bagaimana menciptakan tata kelola angkutan barang yang selamat, aman dan nyaman, itu keywordnya disitu, yang kedua, bagaimana melindungi pengemudi dan pengusaha transporter, karena selama ini yang menjadi obyek penderita itu transporter dan pengemudi, dan saya sudah katakan tadi, saya sudah merasakan itu, saya pernah merasakan itu, dan saya pernah jadi bagian daripada mereka.
“Jadi saya jawab, kendaraan itu ada jenisnya, adanya namanya barang curah, ada B3, dan semua punya standarisasi, punya Gross Vehicle Weight (GVW), jadi kalau yang disampaikan tadi, ada BBM, iya besar, tapi dia memenuhi speknya, dia ada 10 roda, ada 6 roda, terus kalau ada dikatakan kita tidak tertibkan yang lain, kita tertibkan,”jelasnya lagi.
Benny juga membantah kalau dikatakan kebijakan ini tidak melalui proses sosialisasi.
“Kedua, kalau dikatakan bahwa tidak ada sosialisasi, kami sudah berkali-kali adakan sosialisasi, tapi kan tidak mungkin saya mau datang kemana-mana, di media saya sudah berkali-kali, saya dipanggil menjadi narasumber, dan sekali lagi perlu diingat bahwa aturan ODOL ini, adalah aturan yang sudah lama, dan tidak ada yang berubah dari dulu, GVW kendaraan saja berubah,”tuturnya.
Kata Benny, Saya dari tahun 1994 mulai jadi PNS di Dinas Perhubungan, dan saya langsung menjadi pemeriksa rancang bangun, aturan yang kita bahas ini sama ditahun 1994, yang beda hanyalah GVW Kendaraan, dulu Toyota B43, sekarang sudah berubah, dinasaurus itu sudah berubah menjadi 8 ton, Mitsubishi F119 dulu GVWnya hanya 7,5 ton, sekarang sudah berubah jadi 8 ton, jadi tidak ada yang berubah.
“Dan kebijakan ini juga ada kaitannya dengan pemeliharaan jalan, dan saya sudah sampaikan tadi, bahwa kendaraan yang akan melintas ini dibuat oleh pabrik, dan pabrik punya desain sendiri, punya standar, jalan juga dibuat seperti ini, nah ini keduanya jika tidak diawasi, maka kerugiannya, akan dirasakan oleh masyarakat,”
“Jadi saat ini yang kita lakukan adalah penindakan dan sosialisasi, karena aturan ini sudah lama, dan seluruh Indonesia aturan ini sudah jalan, tapi dalam penindakannya kita tidak kacamata kuda, contoh kayak kemarin, ada yang datang pak, okey silahkan, dia bersedia menyesuaikan dimensinya, ada tambahan-tambahannya dia mau buka, silahkan tidak ada diskriminasi, bahkan ada yang kita beri penjelasan, dia yang membuka sendiri,”pungkasnya.(IMR/hen).