Penyebab Kematian Pegawai Bapas Masih Misteri

KENDARI, WAJAHSULTRA.COM — Penyebab kematian Pegawai Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Kota Baubau, Israwati (30), masih menjadi misteri. Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) yang menangani kasus ini belum juga menyimpulkan penyebab kematian ibu dua anak itu. Keluarga pun mendesak polisi agar segera melakukan otopsi terhadap jenazah Israwati, sebab kematiannya diduga tidak wajar.

Israwati menghembuskan napas terakhir di RS Siloam Bau-bau pada 8 Oktober 2020 lalu. Nyawanya tak tertolong setelah sepekan dirawat di Ruang ICU. Jenazahnya kemudian dibawa ke rumah duka di Kelurahan Lalodati, Kecamatan Puuwatu, Kota Kendari. Namun, saat jenazah dimandikan, keluarga melihat sejumlah keganjilan pada tubuh almarhumah. Pada belakang telinga kanan dan bahu bagian kiri serta bagian lainnya mengalami lebam. Sehingga keluarga mencurigai sebelum dilarikan ke rumah sakit, Israwati diduga terlebih dahulu mendapat tindak kekerasan fisik.

Kakak Israwati, Yawaluddin pun sudah melaporkan dugaan tindak kekerasan ini ke Polda Sultra sejak 12 November 2020 lalu. Laporan itu ditindaklanjuti oleh Subdit III Direktorat Reserse Kriminal Umum dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) pada 23 November 2020. Kemudian dalam prosesnya, Yawaluddin sudah dua kali diminta oleh penyidik untuk membuat surat permohonan otopsi untuk membongkar kuburan almarhumah. Tapi sayangnya, sampai saat ini polisi belum juga melakukan otopsi. “Atas permintaan penyidik saya sudah dua kali memasukkan surat permohonan permintaan otopsi forensik, tapi sampai saat ini kami belum mendapatkan informasi terkait itu. Padahal kami sangat berharap polisi dapat melakukan otopsi untuk mengungkap apa penyebab kematian adik saya yang sebenarnya,” kata Yawaluddin, Senin (29/3).

Yawaluddin mengatakan, berdasarkan resume medis dari RS Siloam, pasien Israwati mengalami perdarahan subdural, perdarahan intraventrikel, dan perdarahan subarachnoid. “Berdasarkan referensi dari Google, perdarahan subdural atau hematoma subdural biasanya terjadi karena cedera kepala, baik dari kontak fisik olahraga, kecelakaan bermotor maupun terjatuh, terjadi hantaman atau benturan yang cukup kuat mengenai kepala dapat membuat otak bergetar dan terbentur dinding tengkorak, sehingga terjadi perdarahan dalam. Sementara perdarahan intraventrikel bisa terjadi akibat trauma fisik, sedangkan perdarahan subarachnoid disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak karena aneurisma, gangguan pembekuan darah atau cedera kepala berat,” jelasnya.

Semasa hidup, almarhumah kata Yawaluddin, tidak pernah menderita penyakit berat yang dapat membuatnya hilang kesadaran. Karena itu ia menduga pendarahan yang diterangkan resume RS Siloam Baubau itu, bukan disebabkan oleh penyakit adiknya, tapi dari kontak fisik.

Yawaluddin bercerita awal mula kabar duka itu datang berawal pada 1 Oktober 2020 malam. Saat itu keluarga di Kendari mendapat kabar dari suami Israwati bahwa Israwati masuk rumah sakit, karena tiba-tiba terjatuh dan tak sadarkan diri. Mendengar kabar itu Yawaluddin dan ibunya berangkat ke Baubau pada keesokan paginya. Setibanya di Pelabuhan Murhum Baubau ia dan ibunya dijemput oleh seseorang dan diantar ke rumah dinas Bapas Kelas II Kota Baubau di Jalan Kelapa, Kelurahan Wangkanapi, tempat Israwati tinggal bersama suami dan dua anaknya. “Tidak lama kemudian, suami Israwati datang ke rumah dinas, dan menjemput kami untuk ke RS Siloam. Tapi waktu tiba di RS Siloam, kami dilarang masuk untuk melihat adik saya di IGD. Alasannya belum waktu jam besuk,” ujarnya.

Menurut Yawaluddin, selama berada di RS Siloam mulai 1 sampai 4 Oktober 2020, dirinya dan ibunya tidak diizinkan oleh suami Israwati untuk melihat kondisi pasien baik saat masih berada di IGD maupun di ruang ICU. “Alasan suaminya bahwa hanya satu orang yang bisa temani pasien, itupun waktunya hanya lima menit,” jelasnya.

Tak hanya Yawaluddin dan ibunya, saudara Israwati yang lainnya juga mendapat perlakuan yang sama, tidak diizinkan membesuk. “Adik perempunan saya bersama suami juga pernah datang RS Siloam, tapi tetap tidak diizinkan masuk membesuk. Alasan suaminya waktu itu pembesuk harus mengantongi hasil rapid test. Jadi memang selama almarhumah dirawat di rumah sakit kami keluarga tidak ada yang pernah ketemu karena dilarang oleh suaminya,” ujarnya.

Hingga pada 8 Oktober 2020, Yawaluddin dihubungi oleh suaminya bahwa kondisi pasien Israwati sudah kritis dan tak lama kemudian dinyatakan meninggal dunia. “Saat itu kami semua diizinkan masuk ke ruang ICU, tapi anehnya kami masuk tanpa perlu rapid test,” ujarnya.

Atas kejanggalan-kejanggalan itu, pihak keluarga merasa keberatan sehingga membuat laporan ke Polda Sultra. Dalam laporannya, Yawaluddin juga melampirkan foto-foto dugaan kekerasan fisik almarhumah. “Sekali lagi saya katakan bahwa harapan kami pihak kepolisian bisa segera melakukan otopsi supaya bisa terungkap apa penyebab kematian adik saya yang sebenarnya. Kami juga meminta penanganannya dibuka terang-benderang sesuai visi misi Kapolri yaitu presisi, salah satunya transparansi berkeadilan,” tegasnya.

Sementara itu, Kasubbid PID Polda Sultra, Kompol Dolfi Kumaseh mengatakan penyidik kasus ini sudah dua kali melakukan gelar perkara. Hasil penyelidikan, berdasarkan keterangan dokter RS Siloam yang memeriksa, almarhumah Israwati dinyatakan meninggal wajar.

Saat ditanya terkait permintaan keluarga agar segera dilakukan otopsi, Dolfi meminta pihak keluarga untuk datang menyampaikan hal itu ke Direktorat Reserse Kriminal Umum. “Suruh keluarganya datang temui Dir Krimum pertanyakan itu,” kata Dolfi melalui pesan WhatsApp. (p2/c/hen)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img
spot_img