WAKATOBI,WAJAHSULTRA.COM— Kegiatan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022 Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), resmi dibuka oleh Presiden Joko Widodo, Kamis (9 Juni 2022). Presiden didampingi oleh Ibu Negara Iriana Jokowi dan sejumlah menteri Kabinet Indnesia Maju.
Momentum pembukaan GTRA Summit 2022 diawali sambutan Gubernur Sultra Ali Mazi. Gubernur menyampaikan selamat datang kepada Presiden dan Ibu Negara atas kehadirannya di Wakatobi.
“Kehadiran Bapak Presiden bersama Ibu Negara pada hari ini menjadi sebuah sejarah penting yang akan terus dikenang masyarakat Wakatobi khususnya, karena merupakan Presiden dan Ibu Negara pertama yang berkunjung ke Wakatobi sejak Indonesia merdeka,” kata Gubernur.
Gubernur optimistis, kehadiran Presiden dapat menjadi spirit bagi seluruh elemen di Wakatobi dan Sultra untuk memulihkan ekonomi setelah terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Kehadiran Presiden sekeligus menjadi kehormatan dan kebanggaan bagi masyarakat Sultra dan Wakatobi yang akan menjadi energi positif bagi kemajuan masyarakat. Oleh karena itu, Gubernur menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Presiden.
Gubernur juga menyampaikan rasa terima kasih atas kehadiran sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju, para anggota DPR RI, DPD RI, para Gubernur dan bupati/walikota.
Secara khusus, Gubernur mengungkapkan rasa harunya, karena sejak Indonesia merdeka, baru satu orang putra daerah Sultra yang menjadi menteri, dan itu nanti pada masa Presiden Joko Widodo.
“Saudara Bahlil (Lahadalia) Bapak percayakan sebagai menteri. Saya merasa terharu karena Bapak percayakan (jabatan menteri) kepada salah satu putra daerah kami yang sudah lama hilang, tiba-tiba menjadi menteri. Terima kasih Bapak Presiden,” kata Gubernur.
Terkait dengan GTRA Summit, Gubernur menyatakan kegiatan ini telah lama dipersiapkan, bahkan sejak tahun 2021 lalu. Pelaksanaan GTRA Summit 2022 merupakan perintah langsung Presiden kepada Gubernur Sultra yang bekerjasama dengan Kementerian ATR/BPN.
Gubernur mengatakan, kegiatan ini sangat penting dan strategis sebagai wujud implementasi arahan Presiden Membangun Indonesia dari Pinggiran sekaligus menyambut Presidensi G20.
Selain pertemuan, juga akan dilaksanakan sejumlah agenda lainnya antara lain peresmian KMP Sultan Murhum II, peresmian Pelabuhan Penyeberangan Kaledupa-Tomia-Binongko, penyuluhan dan penanganan stunting oleh Ibu Negara.
Sementara Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil dalam sambutannya mengemukakan, pada pertemuan GTRA Summit ini, akan dibahas peririsan kewenangan antara Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Selama ini, masyatakat yang tinggal di atas air (pesisir) tidak bisa memperoleh hak mereka sehingga tidak memiliki akses ke lembaga keuangan, termasuk kredit usaha rakyat (KUR).
Total sebanyak 6.437 sertifikat untuk masyarakat Suku Bajo di seluruh Sultra akan mendapatkan sertifikat.
Sementara itu, dalam sambutannya pada pembukaan acara yang digelar di Marina Togo Mowondu di Wanci, Ibukota Wakatobi, Presiden menegaskan agar lembaga negara baik pusat maupun daerah untuk saling terbuka dan bersinergi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa.
“Saya tidak bisa mentolerir terjadinya kerugian negara, terjadinya kerugian masyarakat, yang disebabkan oleh ego sektoral dan ego lembaga. Stop. Persoalan dimulai dari sini (ego sektoral dan ego lembaga),” tegas Presiden.
Lembaga negara baik di pusat maupun daerah, semuanya harus membuka diri. Forum GTRA Summit 2022 merupakan forum untuk menghancurkan tembok (ego) sektoral.
Dalam konteks reforma agraria, kebijakan satu peta harus dikuti dan didukung. Presiden meminta pemanfaatan teknologi, dengan membangun aplikasi, membangun platform agar penyelesaian sertifikat tanah bisa lebih cepat. Tidak hanya menghitung hari tapi sudah menghitung jam.
Sebelumnya, Presiden menjelaskan bahwa sejak tahun 2015, persoalan mengenai tumpang tindih pemanfaatan lahan telah berulangkali disampaikan. Setiap ke daerah, Presiden selalu menemukan persoalan sengketa tanah.
Dikemukakan Presiden, dari 126 juta yang seharusnya memegang sertifikat, pada tahun 2015 itu baru 46 juta. Artinya, ada sekitar 80 juta penduduk Indonesia yang menempati lahan tapi tidak memiliki hak hukum atas tanah itu. Hal ini juga berpotensi buruk pada iklim investasi.
Ironisnya, justru lahan-lahan besar yang mencapai ribuan hingga puluhan ribu yang terlayani, sedangkan lahan-lahan kecil hingga 200 meter persegi saja, tidak dapat diselesaikan. Dengan kapasitas 500 ribu sertifikat per tahun pada tahun 2015, berarti penduduk Indonesia harus menunggu 160 tahun untuk bisa semua memiliki sertifikat.
Melihat persoalan tersebut, Presiden lalu memerintahkan Menteri ATR/Kepala BPN untuk meningkatkan kapasitas penerbitan sertifikat menjadi lima juta per tahun. Lalu, tahun berikutnya dinaikkan lagi menjadi tujuh juta per tahun, dan naik lagi menjadi sembilan juta sertifikat per tahun.
“Sebenarnya, kita bisa mengerjakan, tapi tidak bisa kita lakukan. Dari 500 ribu menjadi sembilan juta, nyatanya bisa,” kata Presiden.
Saat ini, sertifikat yang telah diterbitkan pemerintah telah mencapai 80,6 juta dari 46 juta tahun 2015 silam. Belum lagi, persoalan-persoalan spesifik seperti pulau-pulau kecil dan masyarakat Bajo yang tinggal di atas air.
Ternyata, kata Presiden, persoalan tersebut permasalahannya bersumber dari lembaga pemerintah sendiri, yakni ego sektoral dari lembaga pemerintahan baik pusat maupun daerah. Lembaga pemerintah tidak bekerja secara terintegrasi. Bekerja sendiri-sendiri dengan egonya masing-masing.
“Persoalannya kelihatan. Solusinya kelihatan. Namun, tidak bisa dilaksanakan hanya gara-gara ego sektoral. Saya sangat menghargai pertemuan GTRA ini, yang diharapkan bisa segera mengintegrasikan, memadukan seluruh kementerian/lembaga. Semuanya bekerja dengan tujuan yang sama. Menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat agar sengketa lahan bisa diselesiakan,” papar Presiden.
Oleh karena itu, pada kesempatan tersebut, Presiden menegaskan agar semua lembaga pemerintah, baik pusat dan daerah, baik kementerian maupun lembaga, harus saling terbuka, saling bersinergi, dan riil pada tataran pelaksanaan. Jangan hanya bicara kita harus terbuka, tetapi prakteknya tidak (*)