KENDARI, WAJAHSULTRA.COM — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra) dinilai tidak transparan dengan penangguhan terdakwa direktur Roshini atas kasus penipuan dan kejahatan lingkungan.
Pasalnya, Kepolisian Daerah (Polda) Sultra sebelum diserahkan di Kejati melakukan penahanan terhadap terdakwa tersebut.
Sehingga tak heran jika masyarakat menilai bahwa Kejati diduga main mata dengan direktur perusahaan yang bergerak di bidang tambang itu.
Hal itu diungkapkan Praktisi Hukum, Anselmus AR. Dijelaskannya, di Polda Sultra pasti mempunyai pertimbangan hukum sehingga dilakukan penahanan, namun tiba-tiba di Kejati ditangguhkan. “Jadi, ketika masyarakat menganggap ada main mata itu bisa saja. Namun, saya tidak bisa memastikan. Tetapi indikasi main mata bisa kelihatan. Karena ada perlakuan-perlakuan khusus,” tegasnya. Sabtu, (03/04).
Menurutnya, penegak hukum tidak transparan dengan penangguhan direktur tambang nikel itu. Pertanyaannya kenapa si A bisa ditangguhkan si B tidak, pada kasus yang sama. “Sebelumnya pada kasus yang sama yang ditangani Kejati, tetapi dilakukan penangguhan,” ungkap Anselmus.
Ia menambahkan, penentuan bisa ditangguhkan penahanannya bukan karena penetapan pengadilan tetapi diskresi penegak hukum. Kalau di Polisi berarti Kepolisian yang mempunyai penilaian. Kalau di Kejaksaan berarti kejaksaan yang menilai.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum menjelaskan, terkait penangguhan direktur pelaku penipuan dan kejahatan lingkungan itu di Kepolisian diskresinya ditahan sementara di Kejaksaan diskresinya ditangguhkan. Berarti ada perbedaan. Itulah keanehannya. “Seharusnya penentuan seseorang bisa ditahan atau ditangguhkan atau tahanan kota seharusnya di pengadilan,” urainya.
“Ada hal yang menjadi abu-abu dalam dikresi Kejati. Karena Kepolisian melakukan penahanan sementara di Kejaksaan ditangguhkan. Itu masalahnya. Kenapa ada perbedaan. Ini yang menjadi pertanyaan,” sambung Aselmus.
Terjadi perbedaan tambahnya karena tidak transparan. Kenapa orang bisa ditangguhkan dengan tidak. Karena alasannya pasti normatif, kepolisian melakukan penahanan terhadap terdakwa nanti melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi kasus yang sama.
Sementara Jaksa menilai karena anaknya sakit, tapi tidak ada surat dari dokter. Itu yang menjadi pertanyaan. Kalau sakit mana buktinya. “Untuk menentukan anak sakit atau meninggal itu harus ada dokumen,” tegas Anselmus.
Menurutnya, pelaku (Direktur Roshini, red) berpotensi melarikan diri, karena tahanan Kota dan tidak dilakukan pengawasan. “Pelaku memiliki materi, sehingga potensi melarikan diri, ada,” tegas Anselmus.
Selain itu, Anselmus menyampaikan bahwa sudah menjadi komsumsi publik kalau orang punya uang mendapatkan perbedaan perlakuan hukum dengan yang tidak memiliki uang. “Tidak usah kita tutup-tutupi hal hal seperti itu, karena pasti ada perbedaan yang punya uang dengan yang tidak punya uang,” tutupnya. (p2/c/hen)