KENDARI,WAJAHSULTRA.COM–Pembahasan tidak berlanjut karena sejumlah kementerian tidak menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah. Sejak itu, tidak ada tindak lanjut atas Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan ini
Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) H. Ali Mazi, SH., yang juga Ketua Badan Kerja Sama Forum Daerah Kepulauan, menyahuti undangan Working Group Discussion Forum Daerah Kepulauan yang menghadirkan panelis Ahli Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Harsanto Nursandi; Asisten Deputi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Menkopolhukam, Syamsudin; dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Nono Sampono; dengan moderator Direktur TV Tempo, Burhan Sholihin; di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Kamis, 03 November 2022.
“Selaku Ketua BKS Provinsi Kepulauan, saya menyambut baik dan mengapresiasi kegiatan Working Group Discussion Daerah Kepulauan yang diselenggarakan oleh Tempo pada kesempatan ini. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang telah dilaksanakan,” kata Gubernur Ali Mazi.
Banyak poin-poin penting yang lahir dari FGD tersebut, yang kesemuanya mengarah pada sebuah pemahaman yang sama, yakni Pengesahan RUU Daerah Kepulauan yang selama ini telah diikhtiarkan oleh BKS Provinsi Kepulauan bersama DPD RI, dan sudah beberapa kali masuk dalam Prolegnas prioritas DPR RI, tidak hanya sekadar wacana semata, tetapi sangat dibutuhkan kemauan yang kuat dan kerja sama yang lebih serius dari kita semua.
Pada kesempatan ini, perlu kami kemukakan kembali tujuan RUU Daerah Kepulauan, antara lain:
Menjamin kepastian hukum dalam pengelolaan potensi wilayah bagi pemerintah daerah di daerah kepulauan;
Mengakui dan menghormati kekhususan dan keragaman geografis dan sosial budaya daerah kepulauan;
Mewujudkan pembangunan daerah kepulauan yang berkeadilan;
Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing;
Meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan, memberikan perlindungan dan keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat di daerah kepulauan.
Memperhatikan tujuan RUU Daerah Kepulauan tersebut, maka sudah sangat jelas muaranya adalah terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan sosial bagi rakyat Indonesia, khususnya yang ada di wilayah provinsi yang bercirikan kepulauan, melalui pemberian kesempatan yang lebih besar dalam mengelola secara optimal dan bertanggung jawab berbagai sumber daya yang terkandung dalam kawasan wilayah provinsi kepulauan, yang kami yakini dapat menjadi Pilar Utama Masa Depan Bangsa Indonesia.
Sehubungan dengan tujuan RUU Kepulauan tersebut, ada 6 (enam) sektor utama yang menjadi fokus pembahasan pada kegiatan diskusi kita kali ini, yaitu:
Sektor kesehatan dan pendidikan tinggi di wilayah kepulauan Indonesia;
Sektor perhubungan dan konektivitas di wilayah kepulauan Indonesia;
Sektor kelautan dan perikanan di wilayah kepulauan Indonesia
Sektor ketenagakerjaan di wilayah kepulauan Indonesia;
Sektor energi dan sumber daya mineral di wilayah kepulauan Indonesia;
Sektor perdagangan antar pulau skala besar di wilayah kepulauan Indonesia.
Untuk itu, mari kita diskusikan bersama terkait 6 sektor tersebut secara mendalam, agar lebih meyakinkan bahwa RUU Daerah Kepulauan memang sudah sepantasnya kita perjuangkan untuk segera dibahas dan disahkan.
“Saya mewakili gubernur dan masyarakat provinsi anggota BKS Provinsi Kepulauan menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Tempo, yang menyelenggarakan forum diskusi ilmiah ini, untuk mendorong keterlibatan semua pihak terkait sebagai wujud konsistensinya membantu perjuangan BKS Provinsi Kepulauan dan DPD RI memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia yang ada di daerah kepulauan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pulau terluar di republik ini,” kata Gubernur Ali Mazi.
Ucapan terima kasih dan apresiasi juga Gubernur Ali Mazi sampaikan kepada berbagai pihak yang telah berkenan hadir dan berpartisipasi dalam Working Group Discussion (WGD) Daerah Kepulauan ini, sebagai salah satu bentuk dukungannya terhadap perjuangan percepatan pembahasan pengesahaan RUU Daerah Kepulauan.
Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan memiliki sejarah yang cukup panjang. Selama hampir 20 tahun, Rancangan Undang-Undang yang memuat gagasan kesetaraan dan perlakuan adil di daerah berciri kepulauan, ini belum juga dibahas dan disahkan.
Pada masa kerja Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019, telah terbentuk panitia kerja Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan dan Presiden Joko Widodo telah memerintahkan tujuh kementerian untuk membahas rancangan undang-undang tersebut bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Tujuh kementerian itu adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Perhubungan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Hanya saja, pembahasan tidak berlanjut karena sejumlah kementerian tidak menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah. Sejak itu, tidak ada tindak lanjut atas Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan ini. Asisten Deputi Koordinaasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Syamsuddin, menyampaikan alasan di balik bergemingnya pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut.
“Kenapa pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan ini berlanjut? Karena hampir 75 persen muatan dalam rancangan Rancangan Undang-Undang itu telah diatur dalam undang-undang yang ada,” kata Asisten Deputi Koordinaasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Syamsuddin, dalam Working Group Discussion Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan.
Undang-undang yang telah memuat sejumlah unsur dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan di antaranya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-Undang Cipta Kerja, dan sebagainya.
Ihwal muatan yang sama dalam Rancangan Undang-Undang ini, menurut Asisten Deputi Koordinaasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Syamsuddin, dikhawatirkan menciptakan duplikasi dan tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Kemudian ada pula kekhawatiran Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan ini menyimpang dari prinsip dasar konsitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Ini barangkali yang sebaiknya menjadi bahan pertimbangan pembahasan lanjutan Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan.”
Saat ini, Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2023. Menurut Syamsuddin, pada prinsipnya, pemerintah mendukung upaya menguatkan dan memajukan setiap daerah. Apabila hendak mendorong Rancangan Undang-Undang ini, Asisten Deputi Koordinaasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Syamsuddin, menyatakan, pemerintah terbuka untuk berdiskusi dengan perwakilan pemerintah daerah kepulauan guna membahas lebih detail. “Kita bisa rapat untuk menyatukan pendapat tentang kelanjutan Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan ini.”
Ihwal 75 persen muatan Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan yang sudah diatur dalam undang-undang lain, Ketua Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan yang juga Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, mengatakan, kalaupun pengaturan itu bersinggungan, buktinya belum ada manfaat yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah berciri kepulauan.
“Kami ini kaya sumber daya alam, tetapi miskin. Kalau bicara mati, kami tidak akan mati. Kami ada jagung, ikan, dan banyak lagi sumber pangan. Tetapi kalau bicara sekolah, kami gadaikan dulu harta yang ada. Ini terjadi karena ketidakadilan,” kata Gubernur Ali Mazi.
Gubernur Ali Mazi menegaskan, Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan tidak meminta hal yang muluk-muluk, melainkan persamaan. Karena daerah kepuauan punya potensi yang luar biasa. Jangan sampai kepala daerah hanya menjadi penonton dari berbagai sumber daya di daerah yang dinikmati oleh orang luar.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Nono Sampono, mengatakan, Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan yang menjadi inisiatif Dewan Perwakilan Daerah berangkat dari banyaknya keterbatasan dalam mengelola daerah berciri kepulauan. Daerah kepulauan identik dengan daerah miskin.
Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Nono Sampono, melanjutkan, merupakan desain hukum untuk menjawab berbagai persoalan di daerah kepulauan, yakni kemiskinan, kesenjangan, dan ketertinggalan pembangunan nasional. Ada tiga isu utama dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan, yakni kewenangan mengelola wilayah, sistem pemerintahan, dan anggaran. (Ilham/hen)