KOLAKA,WAJAHSULTRA.COM–Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Kabupaten Kolaka turut menolak Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi. Pasalnya, Permendikbud PPKS sekaligus RUU TPKS tersebut dinilai melegalkan perzinahan.
Ketua KAMMI Komisariat Kolaka, Andri Kamaruddin menilai RUU TPKS mengabaikan sejumlah norma yang ada di masyarakat Indonesia, baik norma agama, kesusilaan maupun norma hukum, yang ditujukan melalui perumusan delik pidana mengacu paksaan atau ketidaksetujuan oleh korban yang tidak dibatasi oleh nilai-nilai keagamaan dan moralitas. “RUU TPKS tidak menjadikan nilai-nilai keagamaan dan moralitas sebagai standar yang diperhitungkan dalam membuat materi ruu ini. Padahal, nilai-nilai keagamaan dan moralitas sebagaimana yang termaktub dalam sila pertama dan kedua Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang seharusnya melegitimasi atas keberadaan suatu ruu. Selain itu, RUU TPKS juga mengabaikan hukum perkawinan sebagai norma hukum,” kata Andri Kamaruddin dalam keterangan tertulis yang dikirim ke Kantor Redaksi Kolaka Pos, kemarin.
Selain itu, menurut Andri, RUU TPKS tidak melihat permasalahan seksualitas masyarakat Indonesia secara menyeluruh (perzinahan, perkosaan, pelacuran, pencabulan, penyimpangan seksual, sodomi dan pelecehan seksual). Unsur paksaan atau ketiadaan kehendak menjadi satu-satunya unsur kesalahan dalam menentukan delik pidana, ini menunjukkan bahwa RUU TPKS hanya melihat permasalahan seksualitas dari aspek kemanusiaan yang berlandaskan pada HAM, sehingga lepas dari intervensi nilai keagamaan dan moralitas. Padahal, kata dia, secara konstitusional, konsepsi HAM harus dibangun dengan dasar pertimbangan nilai agama, moral, keamanan, dan ketertiban umum sebagaimana dalam pasal 28j ayat 2 UUD tahun 1945.
“RUU TPKS ini banyak memangkas sejumlah tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya di RUU TPKS ada sembilan (pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perkosaan, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual), namun di RUU TPKS menjadi empat tindak pidana (pelecehan seksual fisik dan non fisik, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual) seolah mengurangi aspek kekerasan seksual, namun ternyata tidak demikian. Justru di RUU TPKS ini masih mengandung hal yang memberikan ruang bagi suburnya kebebasan, penyimpangan seksual, pelacuran dan kejahatan seksual lainnya yang dilakukan dengan persetujuan atau kesepakatan atas dasar suka sama suka,” jelasnya.
Msnurut Andri, Permendikbud nomor 30 tahun 2021 berbahaya karena berpotensi melegalkan seks bahkan penyimpangan seksual. Pertama, frasa ‘tanpa persetujuan’ dalam peraturan tersebut ditempatkan sebagai penentu suatu tindakan sebagai kekerasan seksual. Frasa itu tercantum sampai lima kali dalam pasal 5 ayat (2); misalnya salah satu poin (i) “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban”. Point-point di pasal tersebut akan otomatis tidak berlaku apabila kedua belah pihak menyetujui hal tersebut, inilah yang akan berbahaya dan menyesatkan jika diperuntukkan bagi pasangan diluar ikatan pernikahan yang sah. Kedua, mengadopsi nilai-nilai cedaw misalnya pada pasal 5 dibolehkannya tindakan aborsi selama dilakukan atas persetujuan masing-masing pihak, inilah merupakan buah pemikiran kaum feminis barat yang sarat nilai-nilai liberal dan sekularisme yakni kesepakatan hak asasi internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan. Intinya hubungan seks diluar nikah adalah hak warga negara. Negara dan agama tak berhat ikut campur didalamnya. Ketiga, Permendikbud juga berpotensi memberikan perlindungan pada penyimpangan perilaku seksual seperti lgbt dalam pasal 5 ayat 2 bagian (a) tercantum bahwa kekerasan seksual meliputi: “menyampaikan ujaran yang mendeskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender” yang dimaksud identitas gender disini bukan sekedar lelaki dan perempuan, tetapi bisa diartikan juga gay dan lesbian. Artinya, siapapun di lingkungan kampus tidak boleh mengkritisi apalagi melarang kaum lgbt kerena hal itu termasuk ujaran kebencian dan deskriminatif yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual. “Baik RUU PKS, TPKS maupun pada Permendikbud nonor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi merupakan suatu kekeliruan,” katanya.
“Berdasarkan catatan dan pertimbangan tersebut, maka kami dari pengurus KAMMI Komisariat Kolaka menyatakan sikap menolak RUU TPKS yang dibuat oleh Badan Legislatif DPR RU. Kemudian mendesak Baleg DPR RI untuk tidak mengesahkan ruu tpks dan/atau melakukan perbaikan-perbaikan materi RUU TPKS yang sesuai nilai-nilai Pancasila terutama prinsip moralitas dan keagamaan,” tambah Andri.
KAMMI juga mendesak Baleg DPR RI untuk melihat permasalahan seksualitas masyarakat Indonesia secara konprehensif untuk memasukkan materi mengenai upaya-upaya pencegahan dan penindakan terhadap kebebasan seksual, penyimpangan seksual dan kejahatan seksual lain dalam RUU TPKS. “Menuntut Menteri Pendidikan, Mebudayaan, Riset dan Teknologi untuk membentuk dan menerbitkan peraturan perundang-undangan tentang pencegahan kejahatan kesusilaan di lingkup perguruan tinggi yang sesuai dengan nilai pancasila dan UUD RI tahun 1945. Serta mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk segera mencabut Permen Dikbudristek nomor 30 tahun 2021 karena mengandung rumusan atau frasa pasal yang abstrak, multitafsir, bertentangan dengan nilai agama dan kearifan lokal masyarakat indonesia, serta UU nomor 12/2011 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan terkait kejelasan umum,” tandasnya. (kal/hen)